So, what am i gonna share here? Oh, yeah, right, about my college life!
Jadi, saya akan sedikit cerita tentang dunia perkuliahan yang saya hadapi. Jujur saja, saya menganggap diri saya hingga saat ini sebagai mahasiwa yang gagal, a failed student. Kenapa? Sederhana saja, karena saya gagal dalam menentukan apa yang ingin saya pelajari.
Biarkan saya sedikit bercerita sedikit tentang latar belakang keluarga saya. Ayah saya adalah seorang lulusan STM dan bekerja sebagai seorang teknisi di sebuah BUMN yang bergerak dalam jasa pembangkitan listrik sedangkan ibu saya lulusan SMP dan tidak bekerja, dia hanya mengurus 3 anaknya saja setiap hari (Love Both, Mom and Dad).
Kakek dari ayah dan ibu saya bekerja di pabrik, Nenek dari ibu saya juga bekerja di pabrik, sedangkan Nenek dari ayah saya, jadi ibu rumah tangga, mungkin. (Beliau meninggal saat saya masih kecil, saya kurang begitu ingat, semoga ketenangan dan rahmat diberikan kepada keluarga kami yang sudah berpulang. Amin).
Sama seperti orang tua jaman dulu, karena program KB kurang populer, mereka mempunyai banyak anak dan karena penghasilan mereka (mungkin) tidak mencukupi, mereka sering menjual harta warisan mereka yang berupa tanah untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari dan sekolah. Iya, sekolah, untuk mendapatkan pendidikan. Tetapi karena kemampuan mereka terbatas, mereka hanya sanggup menyekolahkan hingga tingkat sekolah menengah atas saja.
Ayah saya sekolah hingga STM, dengan ijasah yang dia punya, dia bekerja berpindah-pindah dari satu pabrik ke pabrik lain, bekerja seperti Kakek saya, hingga nasib memberikan jalan untuk dia dan mampu lulus tes ke Perusahaan Listrik Negara. Dia mulai membangun kehidupannya dan menikah dengan ibu saya yang dikaruniai 3 orang anak yaitu saya dan 2 orang adik saya.
Dan disinilah mulai babak baru tentang keluarga saya dimulai melalui saya. Seperti yang sudah saya ceritakan tadi, pendidikan tertinggi dalam keluarga saya adalah sekolah menegah atas. Tak ada Professor, tak ada Doktor, lulusan Sarjana pun keluarga saya tidak punya hingga tongkat estafet keluarga saya jatuh kepada saya.
Saya masih ingat sewaktu saya SD, saya dan ayah saya menonton satu sinetron, entah sinetron apa, yang jelas pada waktu itu adegannya saat sang anak yang sedang kuliah meminta uang untuk membayar biaya kuliahnya (bukan, bukan sinteron Si Doel Anak Sekolahan), dan kemudian Ayah saya berkata, "Someday, you will ask the same thing to me," dia bilang (well, engga pake bahasa Inggris sih). Tapi ya, akhirnya hal itu memang terjadi dan saya kuliah! Ini membuat saya sebagai calon sarjana pertama di keluarga saya! Saya adalah pioner dalam keluarga ini! Bukan orang lain, tapi saya!
Tapi semua tidak berjalan dengan baik dan sebagaimana mestinya. Saat orang lain merajut mimpi-mimpi mereka tentang suasana kuliah, tentang menjadi sarjana, tentang lulus dan dibayar baik oleh perusahaan internasional, saya masih bingung ingin melanjutkan kuliah di bidang apa. Saya menghabiskan masa SMA saya lebih banyak untuk nongkrong dan bermain-main.
"Yan, PR udah buat besok?"
"Hah? Ada gitu?"
"Ada"
"Ah, nyontek aja"
atau
"Eh, tugas udah?"
"Belum, tapi gua ada rokok,"
"Minta dong,"
"Yuk, cabut!"
Hei, semua teman saya melakukan hal yang sama, tapi apa yang membuat saya berbeda? Ya itu tadi, saya tidak tahu interest saya ada dimana, saya tidak tahu kapabilitas terbaik saya ada dimana, saya tidak tahu saya ingin menjadi apa, sementara mereka sudah mempunyai mimpi yang mereka jalani dari kecil.
Dan dalam ketidaktahuan saya tentang dunia kuliah, saya mengetahui bahwa satu-satunya bidang yang tidak ingin saya pelajari adalah Teknik Informatika. Saya kurang tertarik dalam dunia komputer, karena motivasi orang yang masuk dalam dunia informatika adalah game, saya tidak senang main game komputer. Saya lebih tertarik kepada musik, seni dan literatur. Itu adalah interest saya dari kecil, tapi saya tidak mungkin untukkuliah dalam bidang tersebut karena orang tua saya kurang menyetujui kalau saya kuliah dan hidup dari bidang tersebut. Ayah saya dari kecil menyarankan saya untuk masuk ke dalam Teknik Elektrok dan entah munkin karena bawaan keluarga, ya saya cukup menikmati hal-hal yang berkaitan dengan elektronika.
Singkat cerita, masa SMA saya lewati. UAN saya lulus tetapi ada satu hal yang mengganjal, pertanyaan untuk melanjutkan kuliah masih ada dalam benak saya dan belum bisa saya jawab.
Jurusan yang paling saya mungkin ambil adalah Teknik Elektronika, tetapi karena kerjaan saya lebih banyak main-main daripada belajar sewaktu SMA, membuat skill saya dalam menembus SPMB dan masuk Institut Negeri sangat minim sementara perguruan tinggi swasta yang menyediakan program tersebut masih diragukan kehandalannya, saya akhirnya mencoba masuk ke Politeknik Manufaktur. Setelah tes tertulis, saya dinyatakan lulus tes tertulis, tinggal psikotest dan tes kesehatan. Di dua tes tersebut saya gagal.
Selanjutnya, pilihan saya jatuh kepada Akuntansi dan saya mencoba daftar di Unpar. Ada 3 pilihan yang bisa saya ambil waktu itu. Pilihan pertama saya ambil akuntansi, pilihan ketiga saya pilih Ekonomi Pembangunan, sedangkan pilihan kedua saya pilih....Ilmu Komputer. Ilmu Komputer?!! Ah, pasti ini bukan Teknik Informatika, pasti lebih banyak bicara tentang hardware komputer. Hardware mah masih ada hubungannya sama elektronika, saya pikir waktu itu.
Saya ditolak di Akuntansi, diterima di Ilmu Komputer dan sesuai dengan prediksi saya, SPMB kacau.
Saya bingung pada waktu itu, melakukan pendaftaran ke kampus lain sudah mempet dan entah jurusan yang saya akan pilih apa. Masuk ke Unpar, sama saja dengan bunuh diri, sudah pasti mahal, dan pikiran saya hanya mentok sampai situ. Dan dengan asumsi bahwa Ilmu Komputer berbeda dengan Informatika, saya memutuskan masuk sana.
Semua berjalan lancar dan biasa saja, sampai setelah beberapa minggu kuliah seorang dosen bertanya, "Kalian tahu apa bedanya Ilmu Komputer dan Teknik Informatika?"
Semua mahasiswa diam.
Dia akhirnya menjawab sendiri, "Enggak ada bedanya"
MAMPUS GUA!!
Itu adalah salah satu kesalahan terbesar saya. Tidak mencari informasi yang tepat dan sesuai tentang jurusan yang salah pilih dan yang paling buruk adalah : saya memilih bidang studi yang saya tidak suka sama sekali di kampus swasta yang mahal dan dosennya pelit nilai.
Dan benar saja, nilai saya hancur-hancuran. Saya tidak punya motivasi lebih untuk berbuat lebih baik dengan keadaan yang ada. Semester 3 saya berusaha berbuat agak lebih baik dan mulai membuat diri saya nyaman, tapi tetap saja tidak berjalan maksimal. Saya akhirnya mundur dari Ilmu Komputer.
Dan benar saja, nilai saya hancur-hancuran. Saya tidak punya motivasi lebih untuk berbuat lebih baik dengan keadaan yang ada. Semester 3 saya berusaha berbuat agak lebih baik dan mulai membuat diri saya nyaman, tapi tetap saja tidak berjalan maksimal. Saya akhirnya mundur dari Ilmu Komputer.
Saya menganggur selama 6 bulan dan akhirnya pindah ke Institut Manajemen Telkom. Kenapa saya pilih kampus itu? Tidak ada alasan khusus, saya hanya masuk ke sana karena anjuran teman saja.
Di kampus baru ini saya harus beradaptasi lagi karena kebiasaan kuliah saya masih sama seperti waktu saya di Unpar, dan itu tidak mudah. Kenapa? Simple, lebih mudah menulis di atas yang kosong daripada yang penuh coretan. Saya sudah penuh coretan dari kampus sebelumnya, dan benar-benar sulit beradaptasi dengan kampus baru dengan segala macam budayanya yang sangat berbeda daripada kampus saya sebelumnya.
Birokrasinya kacau, lingkungan kampusnya pas-pasan, dan teman-teman baru dengan kepribadian yang macam-macam. Saya harus adaptasi lagi. Tapi ya, akhirnya saya bisa bertahan dengan nilai yang menurut saya seadanya saja lah, karena saya memang orang yang malas dalam mengejar nilai.
Di kampus ini saya belajar banyak hal yag berkaita dengan manajemen dan segala seluk beluknya. Menarik? Ya, lumayanlah, setidaknya tidak seperti kampus saya yang pertama, tapi tetap saja saya masih merasa ada yang kurang. Saya masih belum bisa menemukan saya yang sepenuhnya.
Saya masih kurang puas dengan apa yang saya dapat!
Lalu apa sebenarnya inti dari semua ketikan panjang ini?
Saya hanya ingin bilang bahwa dalam melakukan apapun dalam hidup ini, interest, minat atau ketertarikan kita dalam suatu hal adalah merupakan modal yang penting. Baik itu dalam pemilihan karir, pendidikan atau apapun. Tanpa interest yang tinggi, semua akan sia-sia, karena kita tidak akan pernah bisa mengeluarkan potensi terbaik kita dan yang paling parah adalah kita akan merasa 'kosong' walaupun sudah dijejali apapun dari lingkungan kita.
Ya, kita masih sering dengar dalam masyarakat atau orang tua kita berkata : "Ah, kamu kuliah jurusan itu, mau kerja apa?" itu kadang membuat kita merasa tak yakin dengan apa yang akan kita lakukan, tapi percayalah melakukan apa yang sesuai dengan interest kita akan lebih membuat kita merasa hidup.
Ini hidup kita, bukan milik orang lain. Menjadi apa yang kita inginkan lebih penting daripada menjadi apa yang orang lain inginkan.
Di kampus baru ini saya harus beradaptasi lagi karena kebiasaan kuliah saya masih sama seperti waktu saya di Unpar, dan itu tidak mudah. Kenapa? Simple, lebih mudah menulis di atas yang kosong daripada yang penuh coretan. Saya sudah penuh coretan dari kampus sebelumnya, dan benar-benar sulit beradaptasi dengan kampus baru dengan segala macam budayanya yang sangat berbeda daripada kampus saya sebelumnya.
Birokrasinya kacau, lingkungan kampusnya pas-pasan, dan teman-teman baru dengan kepribadian yang macam-macam. Saya harus adaptasi lagi. Tapi ya, akhirnya saya bisa bertahan dengan nilai yang menurut saya seadanya saja lah, karena saya memang orang yang malas dalam mengejar nilai.
Di kampus ini saya belajar banyak hal yag berkaita dengan manajemen dan segala seluk beluknya. Menarik? Ya, lumayanlah, setidaknya tidak seperti kampus saya yang pertama, tapi tetap saja saya masih merasa ada yang kurang. Saya masih belum bisa menemukan saya yang sepenuhnya.
Saya masih kurang puas dengan apa yang saya dapat!
Lalu apa sebenarnya inti dari semua ketikan panjang ini?
Saya hanya ingin bilang bahwa dalam melakukan apapun dalam hidup ini, interest, minat atau ketertarikan kita dalam suatu hal adalah merupakan modal yang penting. Baik itu dalam pemilihan karir, pendidikan atau apapun. Tanpa interest yang tinggi, semua akan sia-sia, karena kita tidak akan pernah bisa mengeluarkan potensi terbaik kita dan yang paling parah adalah kita akan merasa 'kosong' walaupun sudah dijejali apapun dari lingkungan kita.
Ya, kita masih sering dengar dalam masyarakat atau orang tua kita berkata : "Ah, kamu kuliah jurusan itu, mau kerja apa?" itu kadang membuat kita merasa tak yakin dengan apa yang akan kita lakukan, tapi percayalah melakukan apa yang sesuai dengan interest kita akan lebih membuat kita merasa hidup.
Ini hidup kita, bukan milik orang lain. Menjadi apa yang kita inginkan lebih penting daripada menjadi apa yang orang lain inginkan.
Assuredness. Knowing what you want. Ini adalah hal yang penting. Saya masih mencari apa yang ingin saya ingini, dan suatu saat mudah-mudahan saya bisa menemukannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar